April 2024
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

Molecular Characteristic Of Indigenous Probiotic Strains From Indonesia

International Journal of Probiotics and Prebiotics Vol.10, No.4, 2015

Endang S. Rahayu*1, Agung Yogeswara2, Mariyatun1, Linda Windiarti1, Tyas Utami1, and Koichi Watanabe3

 

1Faculty of Agricultural Technology, Universitas Gadjah Mada, Flora Street No 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia

2Nutritional Science Department, Universitas Dhyana Pura, Jalan Raya Padang Luwih Tegaljaya Dalung Kuta Utara, Bali 80361, Indonesia

3Department of Animal Science and Technology, National Taiwan University, No. 50, Lane 155, Sec. 3., Keelung Rd., Taipei, Taiwan R.O.C.

*Corresponding author: Endang S. Rahayu, Faculty of Agricultural Technology, Universitas Gadjah Mada, Flora Street No 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia.

Telp. (+6274) 549650, Fax. (+6274) 549650 Email: endangsrahayu@ugm.ac.id

ABSTRACT

The aims of this study were to screen indigenous probiotic strains of the Indonesian habitat and to identify them based on molecular characteristics. Screening for probiotic candidates were mainly based on the resistance of simulated gastric juice, bile salt, and antimicrobial activities against pathogens. Molecular techniques used for identification in this study were sequence of 16S rRNA, RAPD genetic profile using multiplex primer, RecA gene profile for Lactobacillus plantarum-pentosus group and pepR gene profile for Lactobacillus casei group. Results from this study shown that RAPD genetic profile could be used to distinguish among strain-level belong to Lactobacillus plantarum. RecA gene profile was able to differentiate between Lactobacillus plantarum and Lactobacillus pentosus used in this study, while pepR gene profile could be used to differentiate subspesies belong to L. casei group. Based on the molecular characteristics in this study, four strains isolated from fermented foods (Dad-13, T-3, Mut-7, and Mut-13) were clearly identified as Lactobacillus plantarum, while SNP-2 isolated from fecal of a healthy infant was identified as Lactobacillus paracasei. Based on the screening criteria, all indigenous strains from Indonesia in this study were potential as probiotic candidates.

 

KEYWORDS: Indigenous; Indonesia; Molecular characteristics; Probiotic

Endang Sutriswati Rahayu, Periset Keamanan Pangan Lokal Penerima Penghargaan Presiden

1915368_10153982187954349_4607555844075939270_n

 

Yogyakarta – Pakar keamanan pangan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Ir Endang Sutriswati Rahayu mendapat penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara 2015 dari Presiden RI, Joko Widodo. Dia terpilih menerima penghargaan karena penelitiannya mengenai keamanan pangan lokal.

Dia memperoleh penghargaan sebagai peneliti dalam bidang pelayanan ketahanan pangan. Penghargaan tersebut diberikan presiden di Istana Negara pada hari Senin, 21 Desember 2015.

Selama ini dia juga dikenal giat memberikan edukasi kepada masyarakat, UMKM dan petani untuk memperhatikan keamanan produk pertanian. Tujuannya agar terhindar dari cemaran toksin yang membahayakan kesehatan. Guru besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM ini dikenal meneliti mikrobiologi pangan produk pertanian berbasis biji-bijian seperti jagung, kacang tanah, kakao dan kopi.

Menurutnya keamanan pangan menjadi bagian penting dalam penyelenggaraan pangan dan masih menjadi ancaman serius tidak hanya di tingkat nasional maupun global.

“Di Indonesia masih banyak kasus keracunan makanan ataupun penyakit karena bahan pangan yang tidak aman akibat tercemar bakteri, toksin atau mengandung bahan kimia yang membahayakan kesehatan,” ungkap Trisye panggilan akrabnya di FTP UGM, Rabu (23/12/2015).

Menurutnya salah satu isu yang harus segera ditangani adalah untuk menekan cemaran bakteri maupun toksin dalam produk pangan di UMKM. Sebab selama ini tidak sedikit produk pangan yang dihasilkan oleh UMKM yang masih ada yang tercemar karena tidak melakukan penanganan produk pangan dengan baik dan benar.

“Hal itu terjadi pada tahap pasca panen dan distribusi,” katanya.

Salah satu sebabnya kata dia, karena dalam penanganan produk pangan belum memanfaatkan teknologi dan juga SDM yang terdidik. Banyak ditemukan cemaran toksin dari jamur baik berupa aflatoksin, ochratoxin, fumonisin dalam beberapa produk pangan UMKM yang melebihi ambang batas maksimum. Cemaran toksin tersebut berpotensi merangsang munculnya kanker di masa mendatang.

“Akibat lainnya produk-produk pertanian lokal kemudian tidak memiliki daya saing di pasar global,” katanya.

Dia mengatakan untuk mencegah munculnya toksin pasca panen dan distribusi perlu segera dilakukan. Langkah tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran petani akan bahaya cemaran toksin pada produk pertanian mereka. Selain itu, para pelaku usaha untuk lebih memperhatikan standar keamanan produk pangan agar produk yang dihasilkan aman dan tidak berbahaya untuk kesehatan manusia.

Selama ini Trisye juga aktif dalam Jejaring Keamanan Pangan Nasional dan menjadi anggota Panel Pakar untuk Mikotoksin Indonesian Risk Assesment Center (INARAC) ini.

Kegiatan yang dilakukan antara lain dengan memberikan bantuan penyediaan fasilitas gudang penyimpanan sesuai standar, menyediakan mesin pengering produk pertanian.

“Kita berharap dengan adanya penanganan pasca panen yang benar, produk pertanian bisa bebas dari cemaran toksin sehingga bisa diterima di pasar internasional,” ungkap doktor lulusan University of Tokyo itu.

Dia menambahkan dalam penelitian pada 2013 lalu di DIY masih ditemukan adanya cemaran toksin berupa ochratoxin pada kopi, kakao dan ketela serta fumonisin pada jagung di Temanggung.

Menurut dia, dari kasus tersebut menunjukkkan masih banyak produk pangan yang tidak aman karena penanganan pasca panen yang belum benar. Dia menekankan peningkatan kesadaran kepada petani mengenai bahaya cemaran toksin.

“Semua dilakukan agar produk pertanian kita benar-benar aman hingga siap disantap di meja makan,” pungkas dia.

Source : http://news.detik.com/tokoh/3103788/endang-sutriswati-rahayu-periset-keamanan-pangan-lokal-penerima-penghargaan-presiden

The 5th International Conference of Indonesian Society for Lactic Acid Bacteria-Gut Microbia November 13-14th, 2015 Auditorium Kamarjani-Soenjoto, Faculty of Agricultural Technology Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Indonesia


Introduction

ISLAB

Indonesia as a mega-diversity country has diverse microorganisms, including lactic acid bacteria. These bacteria which have varied physiological functions have been isolated and investigated associated with the benefit of human life. The utilizations of lactic acid bacteria expand into many areas of food, health, and industries. Lactic acid bacteria play many roles in traditional Indonesian fermented foods such as tape, kecap, and asinan. Many species and strains of lactic acid bacteria have been suggested to have many beneficial effects on the health of the digestive tract of humans. Many strains of lactic acid bacteria have been applied into probiotic products. Administration of specific strains of lactobacilli and/or bifidobacteria was found to be effective in the treatment/prevention of rotavirus antibiotic-associated, and pathogenic diarrhea. The ability of specific probiotics to enhance immune function in infant has also been reported.

Islab 2

Research has been carried related to the development of science and technology in microbiological area. Lactic acid bacteria could be explored for novel function, particularly to support the health benefit for human being and other life. To support the preservation of potential microorganisms, culture collection should be managed in a good management system. Therefore. it is necessary to disseminate these research findings and experiences as well as how to manage culture collection among researcher, pediatrician, students, industries, and other stakeholders.

 

Objective

                The objectives of this conference are to disseminate the research achievement among the researchers, to explore novel functions of lactic acid bacteria, and to strengthen the network among the international and national researchers as well as industrial partner.

Download : REPORT BOOK 5th ISLAB

Kontaminasi Aflatoksin Masih Mengancam Produk Pangan Indonesia

Download : Poster AFI

Keamanan pangan masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Pasalnya, saat ini masih banyak kejadian luar biasa akibat keracunan pangan. Lebih dari itu, tidak sedikit produk pangan yang dihasilkan juga terancam kontaminasi racun atau toksin yang membahayakan kesehatan dan berakibat kronis bahkan mematikan.

Pemerhati keamanan pangan UGM, Prof.Dr.Ir. Endang Sutriswati Rahayu mengatakan salah satu penyebab makanan menjadi tidak aman adalah tercemarnya bahan pangan dengan toksin yang dihasilkan oleh jamur dan dikenal dengan mikotoksin.  Sebagai negara tropis, Indonesia sangat rentan terhadap pencemaran jamur dan toksin pada produk-produk pertanian yanng dihasilkan. Salah satu jenis mikotoksin yang cukup membahayakan adalah aflatoksin yang diproduksiAspergillus flavus.

“Masih banyak produk pangan khususnya berbasis biji-bijian seperti jagung dan kacang yang tercemar aflatoksin,”terangnya, Kamis (1/10) di Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM.

Namun demikian, cemaran aflatoksin ini belum begitu disadari oleh masyarakat luas. Hal ini dikarenakan efek samping racun tidak terlihat atau timbul secara langsung seperti halnya pada kejadian keracunan makanan. Efek aflatoksin baru akan terlihat dalam jangka panjang.

“Aflatoksin ini tidak akut dan tidak langsung terlihat seketika, tetapi baru telihat puluhan tahun kedepan dan bersifat kronis-mematikan,”tegasnya.

Cemaran aflatoksin pada produk makanan yang dijual di pasaran sangat berpotensi merangsang timbulnya kanker. Salah satunya menyebabkan kanker hati. Penelitian Liu dan Wu (2010) menunjukkan negara ASEAN  berada di posisi kedua sebanyak 27 persen setelah Afrika sebesar 40 persen.

“Hal ini sungguh memprihatinkan sehingga perlu dilakukan suatu tindakan yang komperehensif untuk mencegah munculnya cemaran aflatoksin selama pasca panen dan distribusi,” papar Trisye, panggilan akrab dari Endang Sutriswati Rahayu.

Cemaran aflatoksin tidak hanya membahayakan kesehatan saja, tetapi juga mengancam perekonomian. Dengan produk-produk pertanian lokal yang tidak memenuhi persyaratan akibat kontaminasi alfatoksin menjadikan sulit untuk menembus pasar global.

“Kontaminasi aflatoksin dapat menurunkan daya saing produk-produk pertanian lokal, ”jelasnya.

Penelitian yang dilakukan Trisye menunjukkan masih terdapat kacang tanah dan jagung yang tidak memenuhi persyaratan bahan dasar untuk masuk ke industri besar. Selain memiliki mutu yang rendah juga tercemar aflatoksin. Akibatnya, kebanyakan bahan tersebut hanya masuk skala UMKM untuk diolah menjadi berbagai produk makanan seperti bumbu pecel, kacang atom, enting-enting gepung, dan emping jagung.

“Beberapa produk panganan ini tercemar aflatoksin melebihi batas persyaratan maksimum,”ungkapnya.

Trisye menuturkan jagung, kacang tanah, maupun ikan asin merupakan bahan pangan konsumsi nasional penting yang produksinya melibatkan kurang lebih 40 juta petani dan 2,2 juta nelayan. Oleh karena itu penting untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian petani dan nelayan terhadap fenomena cemaran aflatoksin yang membahayakan ini.

“Keduanya merupakan ujung tombak dalam penanganan kasus cemaran aflatoksin ini, sehingga kepedulian terhadap hal ini perlu ditingkatkan,”papar Guru Besar FTP UGM ini.

Tingkatkan Kepedulian Cemaran Aflatoksin
Prihatin terhadap fenomena tersebut, Trisye menginisasi terbentuknya sebuah forum komunikasi yang fokus dalam upaya pembangunan sistim keamanan pangan di Indonesia untuk mendukung terwujudnya program ketahanan pangan nasional. Melalui Forum Komunikasi Aflatoksin (AFI) ini para peneliti, akademisi, pemerintah, serta praktisi bersama-sama membahas dan menyusun program untuk meningkatkan kepedulian terhadap cemaran aflatoksin dan sosialisasi pengendalian cemaran toksin ini.

Beberapa kegiatan yang telah dilakukan diantaranya pengendalian aflatoksin pada jagung dan produk pangan berbasis jagung di Provinsi Jawa Timur, membentuk Kampung Teknologi Jepara untuk produksi kacang tanah rendah aflatoksin, dan sekolah lapang produksi kacang tanah di Kabupaten Pati. Disamping itu juga memberikan pendampingan program pengeringan jagung menggunakan SILO bekerjasama dengan Dinas Pertanian DIY dan Kabupaten Sragen.

“Baru-baru ini kami juga mengembangkan model desa Kakao di Gunungkidul,”jelasnya.

Tidak berhenti disitu saja, Trisye juga berpartisipasi aktif dalam penyiapan dan sosialisasi Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang batasan maksimal kandungan mikotoksin dalam pangan.  Ia pun aktif menjadi pembicara dalam berbagi forum baik di tingkat nasional maupun internasional untuk berbagi pengalaman terkait hasil penelitian aflatoksin, peningkatan kepedulian dan penanganan masalah alfatoksin pada rantai suplai makanan.

“Peningkatan kesadaran terhadap aflatoksin ini tidak hanya pada petani maupun nelayan saja, tetapi perlu diikuti  penerapan good practices di segala lini, from farm to tabel, dalam upaya pengendalian cemaran baik saat panen hingga distribusi,”pungkasnya. (Humas UGM/Ika)

Sumber : http://ugm.ac.id/id/berita/10476-kontaminasi.alfatoksin.masih.mengancam.produk.pangan.indonesia

IUMS Outreach Program on Food Safety and International Conference on Mycotoxin 2 November 14-15, 2014, CEMycoS, Faculty of Agricultural Technology, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Indonesia

IUMS 2

IUMS

In support of its mission to enhance the scientific background and professional effectiveness of basic and applied microbiologists, the International Union of Microbiological Societies (IUMS) is embarking on a program of educational outreach to developing countries and their microbiologists. The Union envisions an IUMS series of courses that will be offered to groups of microbiologists that may include graduate students, postdoctoral fellows, and practicing professionals from developing countries within a given geographic region. These will be offered periodically in various regions and on different topics of interest and importance.

The first IUMS Regional Course was offered in Singapore during June 14-16, 2010, and served microbiologists from the surrounding Asian countries. Singapore was chosen as the site, because of its proximity to the countries of Asia. IUMS made a contribution to the subsistence of the successful applicants as far as the finances allow. It is expected that this experience will boost the capability of the attendees in their microbiologic work after they return home, and we shall endeavor to forge a network of the attendees, so they can continue to communicate with each other and the instructors by e-mail.

The second IUMS Regional Course on Food Safety was offered in Bali (Indonesia) 22 – 24 June 2011 and organized in collaboration with the Indonesian Society for Microbiology (PERMI), the International Commission on Food Mycology (ICFM) and the International Committee on Food Microbiology and Hygiene (ICFHM). The third IUMS outreach conference on Antimicrobial Resistance took place in Havana, Cuba on November 14-16, 2013. The fourth course in Yogyakarta will focus on food safety and mycotoxins.

Download : IUMS Report 2015